04 April 2008

Sufi Metropolis...



Oleh: Romi Zamran


Seorang pelawak, barangkali tidak perlu repot-repot melakukan perenungan, bila ia hanya sekedar melawak. Lalu, bila bukan seorang pelawak, orang seperti apakah yang dimaksud oleh buku Renung & Canda Pelawak Bersorban karya Nugroho Suksmanto ini? Kata bersorban tentu mengacu pada simbol agama tertentu, dan sangat identik dengan ulama. Tapi, kenapa penulis menggabungkan kata bersorban dengan kata pelawak? Barangkali yang dimaksud dengan pelawak bersorban adalah semacam cara melawak yang dipakai ulama sebagai wasilah (medium) dalam menyampaikan syiar agama. Selain itu, pelawak bersorban juga bisa menjadi sebentuk satirisme bahwa dengan kepala tertutup sorban, seorang ulama secara tidak langsung hendak mengatakan bahwa hampir semua umat beragama hari ini sedang terkepung dalam lingkaran fanatisme buta, sebagaimana disinyalir oleh Suksmanto sendiri dengan sebuah kelakar segar; kenapa kamu melakukan kejahatan yang memalukan agama? Karena otakku dicuci oleh ulama!


Apa yang hendak disampaikan Nugroho Suksmanto juga tersirat di sampul bukunya; badut yang memakai sorban (atribut ulama), ditambah lagi dengan kata; Renung & Canda. Merenung sambil bercanda? atau bercanda untuk kemudian bisa merenung? Lebih jauh, pembaca diajak untuk menelusuri hubungan antara ‘pelawak bersorban’ dan keberadaan guru sufi yang menjadi ‘lakon’ buku ini. Apakah seorang guru sufi sama dengan pelawak bersorban?


Guru sufi dalam buku ini tentu hanya tokoh imajiner. Ia hadir untuk menggambarkan perenungan penulis yang disampaikan dengan cara unik; berkelakar. Perenungannya sangat kompleks dan beragam, mulai dari soal terorisme internasional, konflik agama-agama, aliran sesat, poligami, korupsi hingga polemik perihal status kepahlawanan almarhum jenderal besar Soeharto. Perenungan disampaikan dengan bahasa yang kocak, bersahaja dan sesekali sangat ‘telanjang’. Banyolan-banyolan ‘kelas atas’ khas Nugroho tidak membuat buku ini menjadi bacaan berat, malah ia berhasil menyuguhkan kalimat-kalimat yang renyah, mudah dicerna, dan yang lebih penting; tidak menggurui. Barangkali inilah bedanya buku ini dengan renungan-renungan sufistik lain yang begitu gandrung menggunakan gaya bahasa tinggi, metaforis dan rumit. Alih-alih mampu memberi pencerahan, malah membuat pembaca pusing tujung keliling.


Kontemplasi sufistik biasanya bercorak asketik.
Ia hendak meniadakan diri untuk menggapai jalan penyatuan dengan Tuhan. Tapi, perilaku asketik kerap membuat pejalan sufi abai pada realitas di luar dirinya. Karena zuhud, ia tak peduli pada dunia di sekitarnya. Maka, pelawak bersorban tampaknya bukan sufi asketik yang tidak memiliki kepekaan sosial, tapi sosok kesufian yang sangat peduli pada anak-anak yatim, korban-korban kekerasan rumahtangga, kerukunan antar umat beragama, dan kompleksitas persoalan yang sudah sangat menyehari di negeri ini. Barangkali ia semacam sufi modern, sufi kontemporer atau lebih tepat lagi ‘Sufi Metropolis’ yang tahu merk minuman mahal, merk mobil mewah bahkan mengerti seluk beluk dunia hiburan di kota metropolitan, Jakarta.


Kalau begitu, apakah umat lebih membutuhkan ‘pelawak bersorban’ ataukah ulama yang berdakwah dengan fanatisme buta, dan menyebabkan umat merasa dicekam oleh bayang-bayang tirani sebuah religi? Ulama yang tidak punya sense of humor dalam berdakwah, alih-alih syiarnya menjadi kabar gembira, malah menjadi kabar petakut, hanya berupa ancaman masuk neraka. Lebih jauh, fanatisme buta akan membuat pikiran jadi sempit dan pemahaman agama menjadi kerdil. Akibatnya, timbul radikalisme seperti ditulis Suksmanto,


Sekelompok orang menyampaikan berita pada guru sufi perihal perusakan tempat maksiat oleh orang-orang yang mengaku pembela agama. Mereka bertanya, apakah gerombolan itu orang Islam?

Tapi guru sufi itu balik bertanya, “Menurut kalian penampilan mereka lebih mencerminkan wajah setan atau wajah malaikat?”
“Seram
. Lebih menyerupai wajah setan!”
“Kalau begitu mereka pasti bukan orang Islam!”

Barangkali umat memang lebih membutuhkan ‘pelawak bersorban’ daripada ulama ‘berwajah sangar’. Dengan renung dan canda, ‘pelawak bersorban’ dapat menjauhkan umat dari fanatisme buta. Selain itu, umat akan terdidik untuk berpikir bebas, tanpa sekat, dengan tetap berada dalam pesan-pesan profetik. Bukankah kejayaan yang termaktub dalam sejarah peradaban Islam berawal dari kebebasan berpikir?

Secara tidak langsung, buku ini sedang mempertanyakan kembali metode dakwah konvensional yang selama ini kaku, datar bahkan sesekali ‘sangar’. Nugroho tampaknya menginginkan dakwah yang lebih rileks , santun, dan ramah, sehingga Islam bisa menampakkan “wajah malaikat”, bukan menampakkan ketidakrtamahan bahkan keberingasan.


Selain itu, agar “metode sufi metropolis” ini tidak menyulut kontroversi dan reaksi-reaksi sepihak, di bagian pengantar, Nugroho menegaskan bahwa buku ini menghendaki sikap yang positif dan hati yang lapang. Bila tidak, bisa jadi akan menuai hujatan yang hanya melahirkan sentimentalisme dan kebencian....

*ROMI ZARMAN (Pekerja buku)

3 comments:

Anonymous said...

Siapa Sufi?

Anonymous said...

buku ini sebenarnya sangat bagus, sayangnya desain kovernya terlalu vulgar, dan judulnya sarat prasangka. ilustrasi pada kover adalah seorang badut, tak ada kesan "ulama" seperti yang diklaim. kalau penerbit mau mengekplorasi sebenarnya masih banyak pilihan judul yang lebih santun tapi tetap (dalam istilah Hernowo) "bunyi" dan "nendang". Istilah "Pelawak Bersorban" menunjukkan bahwa kesufian atau keulamaan hanyalah tempelan, bukan sebaliknya. singkatnya, judul dan desain kover nggak matching dengan karakter buku ini yang ingin menampilkan wajah inklusif Islam.

regards
DJ (editor & dan pengemas buku)

Anonymous said...

Nah, inilah...kadang kita selalu terjebak kepada simbol-simbol yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama. Seorang kyai, tidak harus bersorban. Seorang ustadz sah-sah saja juga tidak memakai jubah. Bukan pada aksesorisnya, tapi pada kemantapan hatinya bagaimana dia menaruh kepekaannya kepada umatnya.